Sabtu, 19 Juli 2014


Foto Ekspedisi Lorentz '95 (Foto Formil Kaskus)
operasi pembebasan sandera Mapenduma adalah operasi militer untuk membebaskan peneliti dari Ekspedisi Lorentz '95 yang disandera Organisasi Papua Merdeka. Operasi ini sebagian besar anggotanya berasal dari Kopassus. Operasi ini dipimpin oleh Komandan Kopassus Prabowo Subianto. Dalam operasi pembebasan ini, 2 dari 11 sandera ditemukan tewas, Matheis Yosias Lasembu, seorang peneliti ornitologi dan Navy W. Th. Panekenan, seorang peneliti biologi.

Selama empat bulan lebih seminggu, persisnya 129 hari, 11 sandera di tangan yang menamakan diri Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau yang disebut sebagai Gerakan Pengacau Keamanan Irian Jaya (GPK Irja), hidup di tengah hutan belantara. Konon, terutama di hari-hari terakhir penyanderaan, mereka kadang makan, kadang tidak. Barulah sergapan Operasi Militer Pembebasan Sandera, yang sebagian besar anggotanya dari Kopassus, benar-benar mengakhiri penderitaan mereka. Memang, tak sepenuhnya ini sebuah sukses besar, 2 dari 11 sandera ditemukan tewas.

Berikut kronologi penyanderaan disusun dari berbagai sumber.
♘ 8 Januari 1996. Dikabarkan oleh Mission Aviation Fellowship cabang Wamena kepada Kodim Jayawijaya, Irian Jaya, sejumlah peneliti yang tergabung dalam Ekspedisi Lorentz '95 disandera oleh OPM kelompok Kelly Kwalik, di desa Mapenduma, kecamatan Tiom, kabupaten Jayawijaya.

Ekspedisi itu sendiri sudah berada di Mapenduma, sekitar 160 km di barat daya Wamena, sejak tanggal 18 November 1995.
♘ 10 Januari 1996. Kodim Jayawijaya melaporkan adanya penculikan itu ke Kodam Trikora. Belakangan diketahui, jumlah sandera 26 orang termasuk seorang bayi berusia sekitar enam bulan. Tujuh orang sandera adalah warga negara asing (empat Inggris, dua Belanda, dan satu Jerman).

♘ 11 Januari 1996. Kodam Trikora mengirimkan pasukan gabungan ke lokasi penyanderaan. Pada hari itu juga pasukan Kopassus tiba di Jayapura, dan langsung ke Wamena, kabupaten Jayawijaya.


♘ 13 Januari 1996. Sembilan sandera dibebaskan di Desa Jigi, Kecamatan Tiom. Mereka adalah empat karyawan Puskesmas Mapenduma, tiga aparat desa Mapenduma, dan dua guru SD Mapenduma. Pada hari yang sama, untuk pertama kalinya, penyandera melakukan kontak pembicaraan dengan Keuskupan Jayapura melalui radio komunikasi lapangan (SSB). Kepada Uskup Munninghoff di Keuskupan Jayapura itu, penyandera minta disediakan helikopter dan menyatakan keinginannya bertemu dengan tokoh agama.


♘ 15 Januari 1996. ABRI mengirimkan dua buah helikopter, obat-obatan, dan tiga tokoh agama: Paul Bourkat (ketua Missionaris), dan anggotanya bernama Andreas van der Boel, dan Uhuwanus Gobay (dari Sinode GKII). Mereka diharapkan menjadi mediator, karena mereka cukup akrab dengan Desa Mapenduma.


Hari itu helikopter pulang ketambahan satu penumpang, Frank Momberg, warga negara Jerman anggota WWF (World Wide Fund for Nature), salah satu lembaga yang ikut mendukung tim Ekspedisi Lorentz ini. Ia memang dilepaskan oleh penyandera, diminta menjadi mediator mewakili penyandera. Dari Moberg-lah diketahui seorang sandera, Martha Klein dari UNESCO, sedang hamil. Tapi, katanya, mereka semua diperlakukan dengan baik, semua cukup makan, tak ada yang sakit.


♘ 16 Januari 1996. Penyandera membebaskan lagi seorang wanita, Nyonya Ola Yakobus Mindipa dan bayinya yang baru berusia 6 bulan. Dia adalah istri Jakobus, petugas di Mapenduma yang biasanya menemani peneliti dari LIPI, yang juga ikut disandera. Dengan dibebaskannya ibu dan anak itu penyandera menuntut dikirimi makanan dan obat-obatan.


Kantor berita Reuter mengungkapkan bahwa Inggris telah mengirimkan tiga orang detektif anggota Scotland Yard ke Irian Jaya. Tetapi, Kapuspen ABRI Brigjen Suwarno Adiwijoyo mengaku belum mengetahui kedatangan mereka dan menyatakan bahwa bisa saja mereka datang ke sana (Irian, Red) untuk berpartisipasi, asalkan menghargai kedaulatan Indonesia.


♘ 17 Januari 1996. ABRI mengirimkan 10 buah selimut, rokok, dan mie instant dengan helikopter. Ini sebagai pertanda bahwa ABRI lebih suka mengadakan pendekatan persuasif, dan ini diwakili oleh para misionaris. Diharapkan mereka berhasil membujuk penyandera membebaskan sandera. Serangan militer dikhawatirkan membahayakan keselamatan sandera. Ini baru akan diambil bila jalan persuasif jelas gagal. Sementara itu Frank Momberg tetap bersama ABRI.


♘ 18 Januari 1996. Di hari ke-11 penyanderaan, wilayah Wamena ditetapkan sebagai kawasan non-fly zone, bebas penerbangan, kecuali ada izin dari petugas keamanan.


♘ 19 Januari 1996. Komandan Kopassus Prabowo Subianto menyatakan ada titik terang dalam upaya membebaskan sisa sandera, 14 orang. Ada pernyataan pers dari Sekjen PBB Boutros-Boutros Ghali agar para sandera segera dibebaskan melalui cara damai. Pada hari yang sama, ABRI mengirimkan dua orang misionaris, Paul Bourkat dan Andrian van der Boel, ke Mapenduma, tanpa Frank Momberg yang dipinjamkan oleh penyandera. Pada malam harinya, pukul 20.00 waktu setempat, ABRI mengeluarkan pernyataan resmi bahwa pejabat ABRI telah mengajukan rencana pembebasan sandera secara damai kepada penyandera melalui para perantara. Ini merupakan kesimpulan setelah ABRI mendapat laporan dari dua misionaris tersebut. Konon, dua misionaris itu bertemu dengan Daniel Kogoya, komandan operasi yang berada di bawah kepemimpinan salah seorang tokoh OPM, Kelly Kwalik. Meski begitu, ABRI tetap menyiagakan pasukan.


♘ 20 Januari 1996. Sebuah sumber sipil menyebutkan bahwa para sandera asing berkirim surat ke negaranya masing-masing, yakni Inggris, Jerman, dan Belanda dan PBB, melalui kedubes masing-masing di Jakarta. Surat-surat itu konon dibawa oleh Frank Momberg. Inti dari surat tanpa sampul yang dibuat tanggal 10 Januari itu, adalah: permintaan agar ABRI tidak terburu-buru masuk, agar Inggris, Belanda, dan Jerman mengurus keselamatan mereka, dan bila ABRI masuk mereka akan dibunuh penyandera.


♘ 25 Januari 1996. Negosiasi antara dua misionaris dengan penyandera, yang sudah langsung dipimpin oleh pimpinan tertinggi sempalan OPM, Kelly Kwalik, di Mapenduma menemui kegagalan. Pada hari itu Kelly Kwalik bahkan menghapuskan isyarat-isyarat pembebasan sandera yang sebelumnya diberikan Daniel Yudas Kogoya. Ini dinyatakan oleh Kepala Penerangan Kodam Trikora Letkol Maulud Hidayat. Sumber militer di Wamena mengakui bahwa negosiasi-negosiasi antara ABRI, yang diwakili misionaris, dan pihak penyandera harus dimulai lagi dari awal.


♘ 4 Februari 1996. Setelah ABRI putus kontak dengan penyandera sejak 26 Januari, tersebar spekulasi bahwa Kelly Kwalik telah membawa sandera yang jumlahnya 14 orang keluar Mapenduma ke arah Papua New Guinea.


♘ 6 Februari 1996. Para keluarga sandera asal Inggris yang ditahan di Irian Jaya mengimbau agar putra-putri mereka segera dibebaskan. Menurut mereka, putra-putri mereka bukan merupakan bagian dari "pertikaian" yang terjadi di sana. Keluarga para sandera masing-masing Maarten van der Kolk, ayah dari Annette van der Kolk, Susan McIvor, ibu dari Anna McIvor, dan Carolyn Miller ibu dari Daniel Stark, serta Dr Kate Robson Brown, pacar dari William Oates mendatangi BBC Siaran Indonesia di London. Pada hari yang sama Kodam Trikora menyatakan bahwa pihaknya secara keseluruhan sedang melakukan cooling down, termasuk dalam pemberitaan di media massa.


♘ 7 Februari 1996. Tim ICRC (Komite Palang Merah Internasional) yang akan membantu Satgas ABRI untuk membebaskan sandera tiba di Wamena. Tim ini terdiri dari Ference Mayer dan Silviane Bonadei. Pada saat itu dikabarkan bahwa lokasi penyanderaan telah berpindah dari Mapenduma ke desa Geselama, sama-sama di kecamatan Tiom. Ini merupakan pertemuan ICRC-Kogoya sejak duet Kwalik-Kogoya memutuskan kontak dengan Satgas ABRI dan para misionaris 25 Januari 1996. Kepada ICRC, Kwalik-Kogoya menyampaikan pembebasan sandera tidak bisa dilaksanakan 25 Februari 1996 karena harus menunggu izin dari pimpinan OPM di PNG.


♘ 24 Februari 1996. Penyanderaan telah memasuki hari ke-48. Harapan akan penyelesaian muncul setelah ada pertemuan antara Tim Palang Merah Internasional dengan Daniel Kogoya di kampung Geselama. Tapi Daniel masih merahasiakan keberadaan para sandera. Sandera juga menyampaikan permintaan agar perwakilan dari negara-negara asal sandera: Inggris dan Belanda, untuk turut dalam rombongan Tim ICRC dalam pertemuan berikutnya. Daniel Kogoya sehari sebelumnya menitipkan film mengenai foto-foto kondisi para sandera. Tetapi sampai Sabtu malam, film itu belum tercetak akibat sulitnya mendapatkan studio foto di Wamena.


♘ 25 Februari 1996. Daniel Kogoya menyatakan tidak akan membebaskan para sandera sebelum mendapat kontak dari pimpinan mereka di Papua New Guinea (PNG). Pernyataan Kogoya itu disampaikan kepada Tim Komite Palang Merah Internasional. Tim ICRC juga belum diberitahu di mana posisi para sandera dan posisi para anggota OPM lain di sekitar Geselama itu. Pada pertemuan itu. Kogoya menyampaikan permintaan obat-obatan, bahan makanan, dan agar pembebasan sandera dihadiri perwakilan negara para sandera serta diabadikan dengan kamera video.


♘ 26 Februari 1996. Diperoleh keterangan bahwa para sandera ditempatkan di sebuah gua yang dijuluki "gua kelelawar", dengan ketinggian tujuh meter di atas tanah dengan cara menaiki tangga dan setelah sampai, tangga diambil kembali. Tim ICRC menyerahkan kaset yang berisi rekaman kebijakan Pangdam VIII Trikora Mayjen TNI Dunidja bahwa ABRI akan menarik pasukan dari lokasi sekitar penyanderaan, jika Kelly Kwalik dan Daniel Kogoya dapat membebaskan sandera dalam keadaan selamat. Kasum ABRI Letjen Soeyono mengingatkan, pihak ABRI akan mengambil tindakan tegas kalau sampai penyandera bertindak brutal.
♘ 29 Februari 1996. Tim ICRC yang terdiri dari Ferenc Mayer, Rene Suter, dan Silviane Bonadei bertemu Daniel Kogoya dan 13 sandera, di sebuah gubug di desa Geselama. Ini merupakan pertemuan pertama antara para sandera dan orang-orang di luar GPK setelah kontak antara mediator yang menghubungkan Satgas Pembebasan Sandera yang bermarkas di kantor Kodim 1702/Jayawijaya dan Daniel Kogoya terhenti, 25 Januari 1996. Pada pertemuan ini, Kogoya mengirimkan pesan kepada Tim Satgas bahwa pihaknya baru akan mempertimbangkan kemungkinan pembebasan sandera setelah pihaknya ada kontak dengan pimpinan GPK OPM di PNG.

♘ 2 Maret 1996. Kelly Kwalik - Daniel Kogoya menyatakan tidak akan melepaskan sandera sebelum mendapat pengakuan pemerintah RI terhadap keberadaan negara Republik Papua Barat.

♘ 4 Maret 1996. Moses Weror, pemimpin dewan revolusi OPM, mengumumkan bahwa pemimpin umat Katolik sedunia Paus Johanes Paulus II telah mengirimkan surat kepada Kelly Kwalik dan Kogoya yang isinya agar mereka segera melepaskan para sandera. Menurut Weror, surat itu dibuat tanggal 25 Januari 1996 oleh Sekretaris Vatikan Kardinal Angelo Sodano dan dikirimkan melalui Uskup Jayapura Herman Munninghoff, dan Kwalik - Kogoya menyerahkan persoalan tersebut kepadanya. Tapi, Weror baru bersedia memerintahkan pembebasan sandera setelah pemerintah Indonesia menghubungi dirinya selaku ketua dewan revolusi OPM.

♘ 5 Maret 1996. Moses Weror menyatakan keinginannya melakukan negosiasi dengan pemerintah dengan syarat di dalam delegasi pemerintah terdapat tokoh seperti Menlu Ali Alatas, Ketua MPR/DPR Wahono, dan Ketua Umum PDI Megawati, dan pimpinan lembaga internasional. Weror juga menuntut kehadiran pemerintah Inggris, Belanda, wakil UNESCO, pimpinan Palang Merah Internasional, dan Uskup Jayapura Herman Munninghoff mewakili Vatikan. Perundingan inilah yang, kata Weror, akan menentukan dibebaskan atau tidaknya sandera. Weror menyatakan, batas waktu pembebaskan sandera adalah September 1996, ketika berlangsung Sidang Majelis Umum PBB.

♘ 6 Maret 1996. Kepala Perwakilan Komite Palang Merah Internasional untuk Asia Tenggara yang berkantor di Jakarta, Henry Fournier, dan dr. Meyer tiba di Port Moresby untuk melakukan perundingan dengan OPM. Mereka terbang dari Jakarta melalui Cairns. Pihak GPK akan diwakili Moses Weror.

♘ 10 Maret 1996. Setelah bertemu tim ICRC di Port Moresby selama 2 hari, Ketua Dewan Revolusi OPM Moses Weror memerintahkan agar Kelly Kwalik - Daniel Kogoya membebaskan sandera yang belum dilepas. Weror menyebut keputusan itu sebagai Komunike 10 Maret. Alasan Weror, penyanderaan yang telah berlangsung lama sudah mendapat perhatian internasional, dan sudah ada permintaan dari Sekjen PBB Boutros-Boutros Ghali, Paus Johanes Paulus II, Presiden Parlemen Uni Eropa, dan Pimpinan IRC di Swiss. Selain itu, Weror merasa puas setelah dijanjikan bahwa ICRC akan membuka perwakilan di Irian Jaya. Menurut Moses Weror, komunike itu dibuat setelah mempertimbangkan saran dari tokoh-tokoh OPM Irian Jaya di luar negeri.

♘ 14 Maret 1996. Di Port Moresby, PNG, Simon Allom, yang mengaku sebagai juru bicara Kogoya dan Kwalik, menyatakan kepada surat kabar setempat, Post Courier, mereka akan membunuh para sandera apabila tuntutannya tidak dipenuhi. Simon Allom juga menyatakan pihaknya tidak tunduk pada Moses Weror sebagai Ketua Dewan Revolusi OPM. Tuntutannya, agar 4 wakil GPK Jacob Prai (mantan Presiden Dewan OPM), John Otto Ondowame (wakil OPM di Australia), Juru bicara pemerintah PNG William Jonggonao, dan seorang komandan OPM Bonny Anaia, diikutkan dalam perundingan pelepasan sandera. Bantahan Simon Allom ini menjadikan upaya pembebasan sandera yang sudah berlangsung hampir tiga bulan mentah kembali.

♘ 16 Maret 1996. GPK membebaskan sandera Abraham Wanggai. Dengan demikian sandera yang belum dilepas ada 13 orang, 4 orang di antaranya warga negara Inggris dan dua orang WN Belanda. (Tak begitu jelas tanggal pembebasan dua sandera sebelumnya).

(Setelah 16 Maret ini berita tentang sandera sepi. Pada pertengahan April berita dari Irian Jaya sempat mengejutkan masyarakat, tapi bukan soal sandera. Melainkan, terjadi insiden yang menewaskan sejumlah anggota Kopassus dan Kostrad, termasuk seorang letkol Kopassus).
15 April pukul 05 pagi, Letnan Dua Sanurip, 36, yang bertugas dalam operasi pembebasan sandera di Mapenduma, dengan senjata otomatis melakukan penembakan terhadap orang di sekitar lapangan terbang Timika. Diberitakan Letda Sanurip menembak mati 16 orang, termasuk diantaranya 3 perwira Kopassus, 8 pasukan Kostrad dan 5 warga sipil, salah satunya pilot Airfast Michael Findlay dari Selandia Baru, dan melukai 11 orang lainnya. Akhirnya Tentara lainnya menembak kaki Letda Sanurip dan melumpuhkannya. Banyak versi yang menyebabkan Letda Sanurip melakukan penembakan tersebut, diantaranya karena malaria, stress maupun sakit hati pribadi. Tanggal 23 April 1997, Akhirnya Letda Sanurip di hukum mati (sumber Wikipedia).
Memasuki pekan kedua Mei 1996. ICRC menyatakan mengundurkan diri dari kegiatan mediasi antara Satgas ABRI dan Kelly - Kogoya. Alasannya belum jelas. Pihak ICRC menyatakan, mereka terpaksa mundur karena tak bisa lagi berada di posisi netral, tapi harus memihak. Sementara itu, salah satu helikopter yang mengawal tim ICRC dikabarkan jatuh karena mesin rusak. Semua yang berada di heli itu tewas, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.

HARI belum siang ketika helikopter tumpangan para juru runding Palang Merah Internasional (ICRC) mendarat perlahan di Kenyam. Ini kampung kecil di pinggir hutan Papua, 15 menit naik helikopter dari Mapenduma, Kecamatan Tiom, Jayawijaya, yang menjadi pusat kendali Operasi Gabungan Pembebasan Sandera Peneliti Lorents '95. Henry Fournier, Kepala Misi ICRC Jakarta, turun dari heli dengan wajah kuyu. Loh..., mengapa?

♘ 9 Mei 1996. Pembebasan 12 sandera (lima sandera peneliti biologi Indonesia dan tujuh peneliti asing dari Inggris, Belanda, dan Jerman) buntu. Upaya pembebasan damai ICRC yang melelahkan, selama hampir empat bulan, gagal total. Pesta babi yang diminta pentolan gerombolan, Kelly Kwalik, sebagai syarat pembebasan sehari sebelumnya, diingkari oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). "Kami minta ubi harus dapat ubi, tidak mungkin minta ubi dapat ketela," demikian kata-kata kiasan Daniel Kogoya, salah satu pimpinan OPM, ketika mengakhiri negosiasi.

OPM tetap berkukuh pada tuntutannya: pemerintah RI harus mengakui kemerdekaan Negara Melanesia Barat seperti tuntutan awal mereka.

Maka, segera setelah ada izin dari otoritas tertinggi Jakarta dan persetujuan wakil negara-negara yang terlibat dalam negosiasi, delapan helikopter jenis Bell 412 dan Bolco 105 milik Dinas Penerbang AD bersegera mengangkut tim pemukul dari Kopassus menuju sasaran. Tujuannya, Mapenduma. Di sana para sandera disekap.

Brigjen Prabowo Subianto (saat itu komandan pasukan Baret Merah) turut serta dalam penyerbuan itu. Namun sandera yang sudah dibawa kabur gerombolan ke tengah hutan ternyata gagal ditemukan. Operasi pencarian pun dilanjutkan kembali.

Satuan pemburu jejak yang telah menguntit gerakan gerombolan langsung di hutan selama berbulan-bulan diperintahkan mempertajam daya endusnya. Unit ini terdiri dari anggota Kopassus dan tentara asal Papua yang sudah mendapat pelatihan memburu jejak dan survival di hutan. Hasil kuntitan tim inilah yang menentukan titik koordinat keberadaan para penyandera. Kegiatan mereka dibantu pengamatan udara dengan pesawat tanpa awak RPVs (remote pilot vehicles) yang dilengkapi sistem airborne thermal infrared sensing system (ATIRSS), penjejak panas yang disewa dari Singapura.

♘ 14 Mei 1996. Kasum ABRI Letjen Soeyono menyatakan bahwa setelah empat bulan ditempuh upaya persuasif tidak membawa hasil, termasuk melalui ICRC, pihak ABRI telah memutuskan untuk membebaskan sandera dengan operasi militer. "Sekarang ini tim sedang melakukan pengejaran GPK untuk memburu anggota GPK," katanya.

♘ 15 Mei 1996. Drama penyanderaan 129 hari itu diakhiri. Satu unit (sembilan orang) pemukul Kopassus berhasil menjepit gerombolan. Upaya ini berhasil menyelamatkan sembilan sandera oleh tim pencegat dari Batalion 330. Dari 11 sandera yang masih bersama OPM, 9 sandera dibebaskan dengan selamat, sedangkan dua yang lain, keduanya warga negara Indonesia, masing-masing Navy Panekenan dan Yosias Mathias Lasamahu, meninggal dunia dibacok OPM. Di pihak OPM, menurut keterangan ABRI, 8 orang tewas dalam pertempuran jarak dekat, dua ditahan. Sedangkan operasi pembebasan ini, didukung 400 personil ABRI dari berbagai kesatuan, sebagian besar dari Kopassus; tak satu pun menjadi korban. Sedangkan dari pihak TNI tercatat lima anggotanya gugur akibat jatuhnya sebuah helikopter saat penyerbuan. Inilah akhir drama penyanderaan selama 129 hari.

Operasi pembebasan itu memang dirancang melibatkan kesatuan Marinir, Batalion 330 Kostrad, dan Batalion Organik Kodam VIII Trikora sebagai pasukan penyekat. Pasukan ini stand-by di titik-titik yang sudah di-tentukan oleh geolog Wanadri, Tedy Kardin. "Ini operasi gabungan yang melibatkan banyak kesatuan," ujar Prabowo. Menurut Prabowo, mengutip statistik dari Federal Bureau of Investigation (FBI), pembebasan sandera dengan operasi bersenjata 50 persen akan gagal. Maka, jalan damai harus diprioritaskan. Di sinilah perlu keterlibatan pihak netral, termasuk Palang Merah Internasional. Menurut Prabowo, ICRC bisa dipercaya. "Saya sempat diejek beberapa senior saat itu: disuruh membebaskan kok malah negosiasi," ujar pensiunan jenderal bintang tiga yang sekarang menjadi pengusaha minyak itu.

Selama menunggu negosiasi damai itulah Prabowo melatih anak buahnya secara spartan, mengantisipasi bila sewaktu-waktu perundingan gagal. "Opsi pembebasan jalan kekerasan harus tetap disiapkan," katanya. Materi pelatihan terutama berupa pendaratan fast trooping dan fast raffling dari helikopter. Termasuk melatih para penguntit jejak musuh. Dalam masa latihan ini, seorang perwira sempat mengalami stress dan menembak mati 11 tentara dan lima orang sipil di lapangan terbang Timika sebelum dilumpuhkan.

Operasi pembebasan sandera kemudian dinyatakan selesai, diteruskan pemburuan OPM, dipimpin langsung oleh Pangdam Trikora Mayjen Dunidja.


Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!