KOMPAS/ALIF ICHWANKegiatan penambangan di Kalimantan Timur terkadang berbenturan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang serta Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota. Tampak tambang batubara di perbatasan Samarinda dan Kutai Kartanegara, Jumat (16/12).
TERKAIT:
KOMPAS.com - Belakangan ini, Kalimantan Timur dihebohkan dengan pembantaian orangutan di Desa Puan Cepak, Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara. Satwa dilindungi nan lucu itu diburu dan dibunuh karena dianggap sebagai hama perkebunan sawit. Harry Susilo, Lukas AP, dan Prasetyo EP
Empat orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. PT KAM, perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Desa Puan Cepak, diduga terlibat dalam kasus pembantaian yang terjadi pada tahun 2008-2010. Polisi menyebut perusahaan memberikan imbalan Rp 1 juta kepada oknum yang membunuh tiap orangutan.
Keberadaan orangutan, monyet, dan satwa hutan lain terancam akibat pembukaan hutan besar-besaran, baik untuk diambil kayunya maupun beralih fungsi menjadi tambang batubara dan perkebunan sawit. Kehidupan satwa-satwa itu tidak lagi aman.
Pembantaian orangutan ini hanyalah fenomena puncak gunung es dari kegagapan Kaltim mengelola sumber daya alam. Parahnya, tak hanya keberadaan monyet dan orangutan yang terancam karena habitatnya dihabisi, hidup manusia di Kaltim pun terancam.
Warga Kaltim tidak lantas sejahtera dengan eksploitasi sumber daya alam yang masif itu. Ketika merasa saluran demokrasi lain tersumbat, warga menumpahkan kekecewaan mereka dengan berunjuk rasa, dengan damai.
Jumat (23/12) lalu, sekitar 30 orang perwakilan tujuh kampung yang terkena dampak perkebunan sawit dan tambang batubara menggelar unjuk rasa di depan Lamin Etam, rumah dinas Gubernur Kaltim di Samarinda. Mereka perwakilan warga dari Kampung Makroman dan Gunung Kapur (Kota Samarinda), Kertabuana dan Berambai (Kutai Kartanegara), Muara Tae dan Lemponah (Kutai Barat), serta Gersik dan Jennebora (Penajam Paser Utara).
Namun, selama dua jam menggelar aksi, mereka tidak ditemui Gubernur ataupun pejabat Pemerintah Provinsi Kaltim karena saat itu di Lamin Etam berlangsung rapat kerja penyerahan daftar isian pelaksanaan anggaran APBN. Masrani, Kepala Kampung Muara Tae, mengaku kecewa tidak ada pejabat yang mau menerima mereka.
Warga Muara Tae, menurut Masrani, terkena dampak masuknya perusahaan sawit dan tambang batubara. ”Perusahaan sawit ini tak pernah berkoordinasi dengan kami. Mereka menggusur lahan di Muara Tae, awalnya 2 hektar di wilayah adat kampung, di RT 1 Muara Tae, Oktober lalu. Namun, sekarang perusahaan itu hendak membuka lagi 200 hektar,” ujarnya.
Selain sawit, tambang batubara yang merambah Muara Tae sejak 1997 makin membuat warga susah. Diperkirakan 4.500 hektar lahan sudah ditambang. Sekarang warga menghadapi krisis air bersih karena sungai di kampung tercemar.
Batubara juga membuat warga kehilangan mata pencarian. Petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Sumber Rejeki di RT 10 Lempake, Kota Samarinda, pernah mengalami pahitnya dampak tambang. Banjir lumpur terjadi akibat bendungan tambang di kampung mereka jebol, 4 November 2008, dan mencemari ratusan kolam lele mereka.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim Kahar Al Bahri mengatakan, warga berhadapan dengan industri tambang dan sawit sendirian karena saluran demokrasi melalui DPRD atau pemerintah mampat.
Ketika menuntut keadilan, lanjut Kahar, warga justru dihadapkan dengan aparat keamanan hingga preman.
Berdasarkan data Jatam tahun 2011, terdapat 789 izin usaha pertambangan dan 33 perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang diterbitkan di Kaltim dengan luas 5,2 juta hektar. Luas kawasan pertambangan ini bertambah dibandingkan dengan tahun 2009 yang hanya 4,4 juta hektar dengan 1.217 izin usaha pertambangan yang diterbitkan.
Masifnya aktivitas pertambangan ini tidak terlepas dari begitu leluasanya kepala daerah menerbitkan izin usaha pertambangan. Ini adalah efek lain dari tatanan baru demokrasi dengan munculnya otonomi daerah, desentralisasi kekuasaan, dan pembentukan daerah otonom baru di Kaltim.
Kahar mengatakan, mulusnya penerbitan izin ini biasanya tak terlepas dari adanya kongkalikong antara pengusaha dan pejabat daerah. ”Izin itu biasanya banyak yang dikeluarkan setelah pilkada atau saat menjelang pilkada. Sebab, uang tunai yang paling cepat didapat adalah dengan mengobral izin usaha pertambangan,” ucapnya.
Sebagai gambaran, izin usaha pertambangan di Kutai Barat pada 2009 seluas 395.486 hektar. Namun, luasan ini langsung membengkak menjadi 1,217 juta hektar pada 2011 seusai pilkada. Yang tidak masuk akal, di Samarinda luas lahan pertambangan mencapai 50.735,76 hektar atau sekitar 71 persen dari luas ibu kota Kaltim itu.
Berdasarkan penelitian Jatam, untuk mendapatkan satu izin usaha pertambangan dengan luasan tertentu, pengusaha perlu memberikan ”pelicin” Rp 2 miliar-Rp 5 miliar. ”Ini yang menyebabkan banyaknya konflik dengan warga karena tambang yang ada merusak lingkungan,” kata Kahar.
Eksploitasi sumber daya di Kaltim itu tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat ataupun membaiknya infrastruktur di provinsi itu. Angka kemiskinan di provinsi ini tetap terhitung tinggi. Jumlah penduduk miskin Kaltim berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada tahun 2010 justru meningkat dibandingkan tahun 2009, yaitu dari 245.050 jiwa menjadi 285.400 jiwa.
Infrastruktur di provinsi ini juga sangat memprihatinkan. Dari ruas jalan nasional sepanjang 2.118 kilometer, yang beraspal baru sekitar 1.743,5 kilometer, kondisi rusak 283,3 kilometer, dan rusak berat 22,81 kilometer. Hanya 554,2 kilometer panjang jalan yang tergolong baik. Dari pantauan, jalan trans- Kalimantan yang menghubungkan Samarinda dengan Sendawar, Kutai Barat, serta Samarinda dengan Berau termasuk yang rusak parah.
Sejumlah kawasan Kaltim juga masih terisolir. Warga di perbatasan, seperti Krayan, sudah berpuluh-puluh tahun bergantung pada Malaysia karena tidak ada akses darat dari wilayah lain di Indonesia.
Akibatnya, harga kebutuhan pokok di Krayan melambung. Sebagai gambaran, harga gula pasir Rp 14.000 per kilogram, bensin Rp 20.000 per liter, semen bisa mencapai Rp 500.000 per zak. Padahal, ada 11.431 warga yang tinggal di wilayah yang terbagi dalam dua kecamatan itu, yakni Krayan dan Krayan Selatan.
Anggota DPRD Kaltim, Iwan Lolang, menyatakan, kondisi di Kaltim tidak sepenuhnya kesalahan pemerintah di daerah, tetapi juga soal kebijakan pemerintah pusat. Ia menyebutkan, hasil eksploitasi kekayaan Kaltim banyak disedot ke Jakarta, tetapi sangat sedikit yang kembali ke Kaltim.
Sebagai gambaran, pada 2010 Kaltim menyumbang Rp 320 triliun untuk pendapatan regional domestik bruto nasional meski yang dikembalikan ke daerah hanya Rp 17 triliun. ”Kaltim ibaratnya yang menghidupi Indonesia, tetapi apa imbal baliknya? Pemerintah pusat harusnya menyadari ini sehingga lebih banyak membantu Kaltim,” kata Lolang.
Tidak muluk-muluk, warga Kaltim ingin demokrasi yang menyejahterakan. Sederhananya, mereka ingin berdemokrasi dengan perut terisi….
sumber : http://nasional.kompas.com/read/2011/12/28/10190363/Berdemokrasi.dengan.Perut.Kosong
Empat orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. PT KAM, perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Desa Puan Cepak, diduga terlibat dalam kasus pembantaian yang terjadi pada tahun 2008-2010. Polisi menyebut perusahaan memberikan imbalan Rp 1 juta kepada oknum yang membunuh tiap orangutan.
Keberadaan orangutan, monyet, dan satwa hutan lain terancam akibat pembukaan hutan besar-besaran, baik untuk diambil kayunya maupun beralih fungsi menjadi tambang batubara dan perkebunan sawit. Kehidupan satwa-satwa itu tidak lagi aman.
Pembantaian orangutan ini hanyalah fenomena puncak gunung es dari kegagapan Kaltim mengelola sumber daya alam. Parahnya, tak hanya keberadaan monyet dan orangutan yang terancam karena habitatnya dihabisi, hidup manusia di Kaltim pun terancam.
Warga Kaltim tidak lantas sejahtera dengan eksploitasi sumber daya alam yang masif itu. Ketika merasa saluran demokrasi lain tersumbat, warga menumpahkan kekecewaan mereka dengan berunjuk rasa, dengan damai.
Jumat (23/12) lalu, sekitar 30 orang perwakilan tujuh kampung yang terkena dampak perkebunan sawit dan tambang batubara menggelar unjuk rasa di depan Lamin Etam, rumah dinas Gubernur Kaltim di Samarinda. Mereka perwakilan warga dari Kampung Makroman dan Gunung Kapur (Kota Samarinda), Kertabuana dan Berambai (Kutai Kartanegara), Muara Tae dan Lemponah (Kutai Barat), serta Gersik dan Jennebora (Penajam Paser Utara).
Namun, selama dua jam menggelar aksi, mereka tidak ditemui Gubernur ataupun pejabat Pemerintah Provinsi Kaltim karena saat itu di Lamin Etam berlangsung rapat kerja penyerahan daftar isian pelaksanaan anggaran APBN. Masrani, Kepala Kampung Muara Tae, mengaku kecewa tidak ada pejabat yang mau menerima mereka.
Warga Muara Tae, menurut Masrani, terkena dampak masuknya perusahaan sawit dan tambang batubara. ”Perusahaan sawit ini tak pernah berkoordinasi dengan kami. Mereka menggusur lahan di Muara Tae, awalnya 2 hektar di wilayah adat kampung, di RT 1 Muara Tae, Oktober lalu. Namun, sekarang perusahaan itu hendak membuka lagi 200 hektar,” ujarnya.
Selain sawit, tambang batubara yang merambah Muara Tae sejak 1997 makin membuat warga susah. Diperkirakan 4.500 hektar lahan sudah ditambang. Sekarang warga menghadapi krisis air bersih karena sungai di kampung tercemar.
Batubara juga membuat warga kehilangan mata pencarian. Petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Sumber Rejeki di RT 10 Lempake, Kota Samarinda, pernah mengalami pahitnya dampak tambang. Banjir lumpur terjadi akibat bendungan tambang di kampung mereka jebol, 4 November 2008, dan mencemari ratusan kolam lele mereka.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim Kahar Al Bahri mengatakan, warga berhadapan dengan industri tambang dan sawit sendirian karena saluran demokrasi melalui DPRD atau pemerintah mampat.
Ketika menuntut keadilan, lanjut Kahar, warga justru dihadapkan dengan aparat keamanan hingga preman.
Berdasarkan data Jatam tahun 2011, terdapat 789 izin usaha pertambangan dan 33 perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang diterbitkan di Kaltim dengan luas 5,2 juta hektar. Luas kawasan pertambangan ini bertambah dibandingkan dengan tahun 2009 yang hanya 4,4 juta hektar dengan 1.217 izin usaha pertambangan yang diterbitkan.
Masifnya aktivitas pertambangan ini tidak terlepas dari begitu leluasanya kepala daerah menerbitkan izin usaha pertambangan. Ini adalah efek lain dari tatanan baru demokrasi dengan munculnya otonomi daerah, desentralisasi kekuasaan, dan pembentukan daerah otonom baru di Kaltim.
Kahar mengatakan, mulusnya penerbitan izin ini biasanya tak terlepas dari adanya kongkalikong antara pengusaha dan pejabat daerah. ”Izin itu biasanya banyak yang dikeluarkan setelah pilkada atau saat menjelang pilkada. Sebab, uang tunai yang paling cepat didapat adalah dengan mengobral izin usaha pertambangan,” ucapnya.
Sebagai gambaran, izin usaha pertambangan di Kutai Barat pada 2009 seluas 395.486 hektar. Namun, luasan ini langsung membengkak menjadi 1,217 juta hektar pada 2011 seusai pilkada. Yang tidak masuk akal, di Samarinda luas lahan pertambangan mencapai 50.735,76 hektar atau sekitar 71 persen dari luas ibu kota Kaltim itu.
Berdasarkan penelitian Jatam, untuk mendapatkan satu izin usaha pertambangan dengan luasan tertentu, pengusaha perlu memberikan ”pelicin” Rp 2 miliar-Rp 5 miliar. ”Ini yang menyebabkan banyaknya konflik dengan warga karena tambang yang ada merusak lingkungan,” kata Kahar.
Eksploitasi sumber daya di Kaltim itu tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat ataupun membaiknya infrastruktur di provinsi itu. Angka kemiskinan di provinsi ini tetap terhitung tinggi. Jumlah penduduk miskin Kaltim berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada tahun 2010 justru meningkat dibandingkan tahun 2009, yaitu dari 245.050 jiwa menjadi 285.400 jiwa.
Infrastruktur di provinsi ini juga sangat memprihatinkan. Dari ruas jalan nasional sepanjang 2.118 kilometer, yang beraspal baru sekitar 1.743,5 kilometer, kondisi rusak 283,3 kilometer, dan rusak berat 22,81 kilometer. Hanya 554,2 kilometer panjang jalan yang tergolong baik. Dari pantauan, jalan trans- Kalimantan yang menghubungkan Samarinda dengan Sendawar, Kutai Barat, serta Samarinda dengan Berau termasuk yang rusak parah.
Sejumlah kawasan Kaltim juga masih terisolir. Warga di perbatasan, seperti Krayan, sudah berpuluh-puluh tahun bergantung pada Malaysia karena tidak ada akses darat dari wilayah lain di Indonesia.
Akibatnya, harga kebutuhan pokok di Krayan melambung. Sebagai gambaran, harga gula pasir Rp 14.000 per kilogram, bensin Rp 20.000 per liter, semen bisa mencapai Rp 500.000 per zak. Padahal, ada 11.431 warga yang tinggal di wilayah yang terbagi dalam dua kecamatan itu, yakni Krayan dan Krayan Selatan.
Anggota DPRD Kaltim, Iwan Lolang, menyatakan, kondisi di Kaltim tidak sepenuhnya kesalahan pemerintah di daerah, tetapi juga soal kebijakan pemerintah pusat. Ia menyebutkan, hasil eksploitasi kekayaan Kaltim banyak disedot ke Jakarta, tetapi sangat sedikit yang kembali ke Kaltim.
Sebagai gambaran, pada 2010 Kaltim menyumbang Rp 320 triliun untuk pendapatan regional domestik bruto nasional meski yang dikembalikan ke daerah hanya Rp 17 triliun. ”Kaltim ibaratnya yang menghidupi Indonesia, tetapi apa imbal baliknya? Pemerintah pusat harusnya menyadari ini sehingga lebih banyak membantu Kaltim,” kata Lolang.
Tidak muluk-muluk, warga Kaltim ingin demokrasi yang menyejahterakan. Sederhananya, mereka ingin berdemokrasi dengan perut terisi….
sumber : http://nasional.kompas.com/read/2011/12/28/10190363/Berdemokrasi.dengan.Perut.Kosong
0 komentar:
Posting Komentar