Deg-degan menonton pertandingan final sepakbola SEA Games antara
Indonesia dan Malaysia tadi malam melalui layar kaca. Memang akhirnya
Indonesia kalah lewat drama adu penalti, tetapi saya rasa itu kekalahan
terhormat. Tim Garuda Muda sudah berjuang maksimal, tetapi pertandingan
olahraga dimanapun tetap memerlukan juara. Tahniah buat kemenangan Malaysia dan selamat buat Indonesia yang menjadi juara umum SEA Games karena perolehan medali emas terbanyak.
Meskipun hanya pertandingan sepakbola, tetapi ada banyak cerita dibalik bola. Pertandingan semalam tidak hanya adu taktik dan strategi, tetapi juga adu gengsi. Pertandingan melibatkan emosi ratusan juta orang Indonesia dan puluhan juta orang Malaysia. Di tanah air, seluruh denyut kehidupan terasa berhenti sebentar karena semua mata terpusat di televisi. Hal yang sama juga terjadi di Malaysia, menurut seorang teman yang sedang kuliah di Malaysia, suasana di Malaysia tidak kalah hebohnya seperti di Indonesia. Ternyata nasionalisme tidak perlu lewat seremoni upacara, ucapan pejabat negara, atau lagu patriotisme, lewat sepakbola yang sederhana saja sudah mengharu biru rasa nasionalisme itu.
Ada cerita dibalik dukungan yang luar biasa dari rakyat kedua negara, lebih-lebih dari Indonesia. Ini tidak hanya sekedar pertandingan bola, tetapi ajang menjaga kehormatan negara masing-masing. Hubungan yang panas dingin antara kedua negara ikut merasuk ke dalam sepakbola. Bagi banyak orang Indonesia, Malaysia dianggap negara yang telah merendahkan bangsa Indonesia. Mulai dari kisah penyiksaan TKI, klaim seni budaya Indonesia, Ambalat, masalah perbatasan, penangkapan dan penyiksaan nelayan, hingga sebutan yang melecehkan: “indon”. Kelakuan orang Malaysia telah membuat geram banyak orang Indonesia. Media pun turut serta ambil bagian memanas-manasi suasana. Politisipun tidak kalah sigap, mereka memanfaatkan kondisi nasionalisme yang bangkit untuk pencitraan diri dan partai mereka.
Orang Malaysia yang selama ini tenang-tenang saja akhirnya mulai terusik. Mereka mulai lebih peka melihat perkembangan yang terjadi di Indonesia menyangkut negara mereka. Mereka mulai mencari tahu melalui informasi di dunia maya apa yang sebenarnya terjadi. Media Malaysia yang selama ini jarang memberitakan suasana hangat di Indonesia terkait unjuk rasa anti Malaysia, akhirnya mulai berani memberitakan, menebar opini, dan mengulas apa yang terjadi di sini. Padahal media Malaysia selama ini dikontrol oleh Pemerintahnya, tetapi akhir-akhir ini suasana keterbukaan sudah melanda Malaysia pula, terbukti demo besar-besarn yang terjadi beberapa bulan lalu menuntut reformasi.
Maka, apa yang terjadi selama pertandinga SEA Games dimana penonton Indonesia menyoraki dan gaduh saat lagu kebangsaan Malaysia diperdengarkan, adalah ekspresi kegeraman orang Indonesia kepada rakyat Malaysia. Tentu saja perbuatan ini berlebihan dan tidak pantas, karena lagu kebangsaan adalah lagu yang menyangkut kerhormatan setiap negara. Kita pun akan marah jika lagu Indonesia Raya dilecehkan ketika diperdengarkan di luar negeri.
Bara yang terpendam di antara kedua negara sewaktu-waktu bisa terbakar kembali karena letupan-letupan yang sewaktu-waktu bisa saja terjadi. Jika ini yang terjadi tentu tidak baik bagi hubungan Indonesia-Malaysia, yang rugi adalah rakyat kedua negara. Perang hanya menyengsarakan, menang jadi arang kalah jadi abu.
Rakyat Malaysia perlu mendengar apa yang menjadi kemarahan orang Indonesia. Dalam pandangan orang Indonesia, Malaysia saat ini ibarat orang yang sombong karena telah menjadi negara yang makmur tetapi merendahkan martabat Indonesia sebagai bangsa babu (karena banyak orang Indonesia yang menjadi TKI di sana). Malaysia diibaratkan seperti lupa kacang dengan kulitnya. Dulu Indonesia membantu rakyat Malaysia dengan mengirimkan guru-guru ke Malaysia untuk membantu pendidikan Malaysia. Petronas pun berguru kepada Pertamina dalam hal eksplorasi minyak bumi. Tetapi setelah menjadi negara makmur sehingga memancing ribuan orang Indonesia mengadu nasib di Malaysia, maka sikap orang Malaysia kepada Indonesia mulai berubah. Polisi diraja Malaysia semena-mena menyiksa dan mengeluarkan kata-kata yang merendahkan kepada TKI dan nelayan yang tertangkap memasuki perairan mereka. Klaim budaya Indonesia oleh Malaysia ikut memperuncing hubungan kedua negara. Ditambah dengan sengketa perebutan pulau (Sipadan dan Ligitan) dan terakhir Ambalat, cukuplah sudah bensin untuk menyiram bara yang terpendam tadi menjadi api menyala-nyala.
Sebaliknya orang Indonesia perlu melakukan cara-cara yang elegan dan beradab dalam melakukan unjuk rasa kepada Malaysia. Melemparkan kotoran manusia ke Kedubes Malaysia adalah aksi yang tidak menunjukkan sikap orang Indonesia yang beradab. Hati boleh panas dengan ulah Malaysia, tetapi logika dan nalar tetap jalan dalam melakukan unjuk rasa. Begitu pula mengolok-olok lagu kebangsaan mereka juga bukan sikap yang terpuji.
Sikap yang terbaik bagi rakyat kedua negara adalah menahan diri agar tidak terprovokasi. Tidak semua orang Indonesia memiliki cara pandang kebencian kepada Malaysia, dan tidak semua orang Malaysia berperilaku buruk dalam memperlakukan orang Indonesia. Masih banyak yang baik di antara yang buruk. Orang Malaysia punya pertalian sejarah panjang dengan Indonesia karena banyak leluhur orang Malasyai berasal dari suku-suku bangsa di nusantara. Orang Indonesia pun punya pertalian darah dan budaya dengan rakyat Malaysia.
Di tingkat akar rumput boleh bergolak, tetapi dalam bidang pendidikan hubungan kedua negara tetap erat. Rakyat Malaysia banyak kuliah di Indonesia, begitu pula sebaliknya. Perguruan Tinggi Malaysia banyak yang menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi Indonesia, misalnya dengan ITB. Konferensi ICEEI setiap dua tahun dilakukan secara bergantian antara ITB dan UKM Malaysia. Turis-turis Malaysia membanjiri kota Bandung untuk wisata kuliner dan wisata fashion. Sebaliknya orang Indonesiapun banyak yang berobat ke Malaysia. Jadi, kedua negara tetaplah saling membutuhkan. Hati boleh panas, tetapi kepala tetap dingin.
sumber: http://rinaldimunir.wordpress.com/2011/11/22/malaysia-dan-indonesia-dari-sepakbola-hingga-bara-terpendam/#comment-9839
Meskipun hanya pertandingan sepakbola, tetapi ada banyak cerita dibalik bola. Pertandingan semalam tidak hanya adu taktik dan strategi, tetapi juga adu gengsi. Pertandingan melibatkan emosi ratusan juta orang Indonesia dan puluhan juta orang Malaysia. Di tanah air, seluruh denyut kehidupan terasa berhenti sebentar karena semua mata terpusat di televisi. Hal yang sama juga terjadi di Malaysia, menurut seorang teman yang sedang kuliah di Malaysia, suasana di Malaysia tidak kalah hebohnya seperti di Indonesia. Ternyata nasionalisme tidak perlu lewat seremoni upacara, ucapan pejabat negara, atau lagu patriotisme, lewat sepakbola yang sederhana saja sudah mengharu biru rasa nasionalisme itu.
Ada cerita dibalik dukungan yang luar biasa dari rakyat kedua negara, lebih-lebih dari Indonesia. Ini tidak hanya sekedar pertandingan bola, tetapi ajang menjaga kehormatan negara masing-masing. Hubungan yang panas dingin antara kedua negara ikut merasuk ke dalam sepakbola. Bagi banyak orang Indonesia, Malaysia dianggap negara yang telah merendahkan bangsa Indonesia. Mulai dari kisah penyiksaan TKI, klaim seni budaya Indonesia, Ambalat, masalah perbatasan, penangkapan dan penyiksaan nelayan, hingga sebutan yang melecehkan: “indon”. Kelakuan orang Malaysia telah membuat geram banyak orang Indonesia. Media pun turut serta ambil bagian memanas-manasi suasana. Politisipun tidak kalah sigap, mereka memanfaatkan kondisi nasionalisme yang bangkit untuk pencitraan diri dan partai mereka.
Orang Malaysia yang selama ini tenang-tenang saja akhirnya mulai terusik. Mereka mulai lebih peka melihat perkembangan yang terjadi di Indonesia menyangkut negara mereka. Mereka mulai mencari tahu melalui informasi di dunia maya apa yang sebenarnya terjadi. Media Malaysia yang selama ini jarang memberitakan suasana hangat di Indonesia terkait unjuk rasa anti Malaysia, akhirnya mulai berani memberitakan, menebar opini, dan mengulas apa yang terjadi di sini. Padahal media Malaysia selama ini dikontrol oleh Pemerintahnya, tetapi akhir-akhir ini suasana keterbukaan sudah melanda Malaysia pula, terbukti demo besar-besarn yang terjadi beberapa bulan lalu menuntut reformasi.
Maka, apa yang terjadi selama pertandinga SEA Games dimana penonton Indonesia menyoraki dan gaduh saat lagu kebangsaan Malaysia diperdengarkan, adalah ekspresi kegeraman orang Indonesia kepada rakyat Malaysia. Tentu saja perbuatan ini berlebihan dan tidak pantas, karena lagu kebangsaan adalah lagu yang menyangkut kerhormatan setiap negara. Kita pun akan marah jika lagu Indonesia Raya dilecehkan ketika diperdengarkan di luar negeri.
Bara yang terpendam di antara kedua negara sewaktu-waktu bisa terbakar kembali karena letupan-letupan yang sewaktu-waktu bisa saja terjadi. Jika ini yang terjadi tentu tidak baik bagi hubungan Indonesia-Malaysia, yang rugi adalah rakyat kedua negara. Perang hanya menyengsarakan, menang jadi arang kalah jadi abu.
Rakyat Malaysia perlu mendengar apa yang menjadi kemarahan orang Indonesia. Dalam pandangan orang Indonesia, Malaysia saat ini ibarat orang yang sombong karena telah menjadi negara yang makmur tetapi merendahkan martabat Indonesia sebagai bangsa babu (karena banyak orang Indonesia yang menjadi TKI di sana). Malaysia diibaratkan seperti lupa kacang dengan kulitnya. Dulu Indonesia membantu rakyat Malaysia dengan mengirimkan guru-guru ke Malaysia untuk membantu pendidikan Malaysia. Petronas pun berguru kepada Pertamina dalam hal eksplorasi minyak bumi. Tetapi setelah menjadi negara makmur sehingga memancing ribuan orang Indonesia mengadu nasib di Malaysia, maka sikap orang Malaysia kepada Indonesia mulai berubah. Polisi diraja Malaysia semena-mena menyiksa dan mengeluarkan kata-kata yang merendahkan kepada TKI dan nelayan yang tertangkap memasuki perairan mereka. Klaim budaya Indonesia oleh Malaysia ikut memperuncing hubungan kedua negara. Ditambah dengan sengketa perebutan pulau (Sipadan dan Ligitan) dan terakhir Ambalat, cukuplah sudah bensin untuk menyiram bara yang terpendam tadi menjadi api menyala-nyala.
Sebaliknya orang Indonesia perlu melakukan cara-cara yang elegan dan beradab dalam melakukan unjuk rasa kepada Malaysia. Melemparkan kotoran manusia ke Kedubes Malaysia adalah aksi yang tidak menunjukkan sikap orang Indonesia yang beradab. Hati boleh panas dengan ulah Malaysia, tetapi logika dan nalar tetap jalan dalam melakukan unjuk rasa. Begitu pula mengolok-olok lagu kebangsaan mereka juga bukan sikap yang terpuji.
Sikap yang terbaik bagi rakyat kedua negara adalah menahan diri agar tidak terprovokasi. Tidak semua orang Indonesia memiliki cara pandang kebencian kepada Malaysia, dan tidak semua orang Malaysia berperilaku buruk dalam memperlakukan orang Indonesia. Masih banyak yang baik di antara yang buruk. Orang Malaysia punya pertalian sejarah panjang dengan Indonesia karena banyak leluhur orang Malasyai berasal dari suku-suku bangsa di nusantara. Orang Indonesia pun punya pertalian darah dan budaya dengan rakyat Malaysia.
Di tingkat akar rumput boleh bergolak, tetapi dalam bidang pendidikan hubungan kedua negara tetap erat. Rakyat Malaysia banyak kuliah di Indonesia, begitu pula sebaliknya. Perguruan Tinggi Malaysia banyak yang menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi Indonesia, misalnya dengan ITB. Konferensi ICEEI setiap dua tahun dilakukan secara bergantian antara ITB dan UKM Malaysia. Turis-turis Malaysia membanjiri kota Bandung untuk wisata kuliner dan wisata fashion. Sebaliknya orang Indonesiapun banyak yang berobat ke Malaysia. Jadi, kedua negara tetaplah saling membutuhkan. Hati boleh panas, tetapi kepala tetap dingin.
sumber: http://rinaldimunir.wordpress.com/2011/11/22/malaysia-dan-indonesia-dari-sepakbola-hingga-bara-terpendam/#comment-9839
0 komentar:
Posting Komentar