Langkah yang sama sekali tidak lagi ayu
Seperti ketika bapakmu menemukan alasannya mencintaiku?
Tidak, kalian pasti sudah tidak bisa melihat itu
Kalian bahkan lupa pernah memiliki seorang ibu
Kukira begitu
Karena mungkin oleh sekian dendam, oleh sekian jeritan lapar
Yang membuat kau dan cucuku menggelepar-gelepar
Yang bahkan untuk doakan tibanya sepiring nasi, mulutmu sudah demikian gemetar
Atau, oleh karena kau terkadang harus teriak-teriak di pinggir jalan
Sebagai pengamen, sebagai tukang parkir, atau sebagai apalah
Demi untuk bulir-bulir nasi yang mungkin kerap kau lupa seperti apa sudah aromanya
Atau, oleh karena kau terkadang harus merangkak-rangkak di pinggir jalan
Menyeret kaki lumpuh karena ketidaksanggupanmu dapatkan obat
Demi untuk segenggam beras dan sebotol kecil air
Atau, karena memang demikian telanjang terlihat
Lama sudah aku tidak bisa berikanmu secangkir sejuk air
Apalagi sekian tetes susu
Kutahu, teramat tahu bahwa pertumbuhanmu tidak lagi karena aliran susuku, anakku
Kutahu, kau tumbuh justru dalam tamparan-tamparan matahari yang digenapi caci maki
Maka, aku pun malu untuk memaksamu memanggilku ibu
Tapi, Nak
Diam-diam aku masih berharap dan berdoa
Entah dalam hujan, entah ketika kemarau panjang
Untuk kau masih menyebutku dengan sebutan yang demikian menyentuhku sebagai perempuan
Iya, sebutan “Ibu”, dari mulutmu, anak-anakku.
Satu lagi, Nak
Jangan kutuk ibu yang gagal menyumpal rata mulut kalian dengan susuku
Dadaku sudah tua, susuku sudah tak bersisa
Catatan:
Terinspirasi oleh pengamen, bocah-bocah pengemis, gelandangan: Bandung dan Jakarta.
sumber : http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2011/12/08/tangis-perempuan-bernama-pertiwi/
0 komentar:
Posting Komentar