Kebahagiaan adalah hal yang dicari oleh semua orang. Banyak cara yang dilakukan untuk memperolehnya. Mulai dari cara-cara yang baik dan sopan hingga cara2 yang kurang baik menurut agama maupun norma masyarakat. Mengapa bisa demikian? Memangnya apa definisi kebahagiaan sehingga orang rela melakukan apapun untuk mendapatkannya? Apakah kebahagiaan identik dengan harta yang banyak, teman yang banyak, semua keinginan tercapai, atau apa? Mampukah kita mendapatkan kebahagiaan, meski kita tidak memiliki hal-hal di atas?
Hal pertama yang perlu kita bahas adalah pengertian kebahagiaan itu sendiri. KBBI mendefinisikan kebahagiaan sebagai suatu keadaan atau perasaan senang tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan). Senada dengan definisi di atas, situs Wikipedia mendefinisikan kebahagiaan sebagai suatu keadaan pikiran atau perasaan yang ditandai dengan kesenangan, cinta, kepuasan, kenikmatan, atau kegembiraan. Para filsuf dan pemikir agama telah sering mendefinisikan kebahagiaan dalam kaitan dengan kehidupan yang baik dan tidak hanya sekadar sebagai suatu emosi. Definisi ini digunakan untuk menerjemahkan eudaimonia (Bahasa Yunani: εὐδαιμονία) dan masih digunakan dalam teori kebaikan. Para peneliti dari Oxford mengidentifikasikan beberapa hal yang berhubungan dengan kebahagiaan: hubungan dan interaksi sosial, status pernikahan, pekerjaan, kesehatan, kebebasan demokrasi, optimisme, keterlibatan religius, penghasilan, serta kedekatan dengan orang-orang bahagia lain.
Sebuah pertanyaan yang menggelitik pemikiran saya saat membaca definisi-definisi di atas adalah apakah saat kita sudah memiliki semua hal di atas atau jika semua kriteria di atas telah terpenuhi, apakah serta merta akan mendatangkan kebahagiaan bagi kita? Ternyata tidak. Mengapa tidak? Jika kita kebingungan saat mendapat jawaban ini maka saya memberanikan diri bahwa hampir 100% dari kita yang bingung tadi, belum merasakan atau memiliki hal-hal yang kita sangka bisa mendatangkan kebahagiaan ini. Contohnya saja kekayaan, saya beri contoh sebagai berikut, saya bertanya kepada beberapa orang siswa dan mahasiswa yang saya tidak kenal latar belakangnya. Saya bertanya “seandainya anda setiap bulan diberikan Rp 50.000.000 sebagai uang saku apakah itu cukup dan akan membahagiakanmu?” Jika jawabannya seragam, saya akan menaikkan atau menurunkan jumlah tertentu dimana jawabannya menjadi berbeda-beda. Saya cukup kaget, bahwa ada seorang mahasiswa yang diberi uang makan Rp 50.000/bulan dan itu sudah cukup baginya sedangkan ada yang mendapatkan uang saku Rp 500.000/bulan namun tidak merasa jumlah itu cukup untuknya. Hei… What’s the problem? Mengapa hal ini menjadi relatif? Setelah saya menganalisanya, saya temukan bahwa pada saat seseorang terbiasa dengan uang yang banyak dan mulai terbiasa untuk membelanjakannya, maka di suatu saat ia akan merasa bahwa itu tidaklah menjadi cukup dan membutuhkan uang yang lebih banyak lagi dan bersamaan dengan itu ia mulai merasa tidak bahagia. Hal ini memaksa saya untuk mengambil kesimpulan bahwa uang secara khusus atau materi dan kepemilikan secara umum tidak membawa kepuasan yang abadi. Suatu saat itu akan tidak akan membawa kebahagiaan lagi. Contohnya saja adalah miliuner Austria, Karl Rabeder. (http://internasional.kompas.com/read/2010/02/12/1043560/Tidak.Bahagia..Miliuner.Austria.Jual.Semua.Hartanya).
Ia mengatakan bahwa kekayaannya yang melimpah itu tidak membahagiakan.
Alkitab mengatakan bahwa cinta uang adalah akar dari segala kejahatan (I Tim 6:10). Mengapa bisa demikian? Tentu saja bisa. Orang yang mencintai uang akan berpikir bahwa harta adalah segalanya dan bisa mendatangkan kebahagiaan jika memilikinya. Saya teringat kepada seseorang yang pernah berkata kepada saya “Kamu ingin bahagia? Milikilah uang yang banyak. Tidak ada yang tidak bisa dibeli dengan uang.” Sungguh mengerikan bukan? Saya menjawabnya dengan sebuah pertanyaan yang membuatnya terhenyak dari tempat duduknya. Pertanyaan itu adalah, apa bisa kita membeli nyawa alias hidup terus tanpa meninggal dengan uang? Saat saya merenungkan lebih dalam maka saya berpikir juga, apakah bisa uang membeli keabadian? Tidak bukan. Lalu, apa hubungannya dengan uang menjadi akar segala kejahatan? Uang itu seperti candu, awalnya begitu menyenangkan dan menenangkan namun akhirnya begitu mengikat seseorang sehingga mau mati rasanya jika tidak bisa mendapatkannya. Uang juga seperti api, bisa menjadi sahabat jika uang tunduk di bawah kuasa kita, namun akan menjadi lawan saat uanglah yang berkuasa di dalam hidup kita. Jika sudah demikian maka apapun akan kita lakukan untuk uang, kita akan berjuang habis-habisan, menghabiskan semua energi, daya, pemikiran, relasi, dan apapun juga demi uang, terserah dengan cara yang baik, sopan, dan halus hingga cara yang jahat, kurang ajar, dan begitu kasar. Penipuan, rekayasa, kebohongan, jual diri, dan lain sebagainya menjadi hal yang lumrah bagi mereka. Lihat saja apa yang dilakukan para koruptor, para ABG yang rela jual diri, Pemalsu produk berlisensi, pemeras, pembunuh dan lain sebagainya demi sesuatu yang namanya UANG. Mengerikan bukan?
Saya pikir ini semua bermula dari kecintaan kita akan diri yang begitu besar dan mengalahkan kecintaan kita pada Tuhan. Karena pusatnya adalah diri kita, maka kitalah yang akan menjadi patokannya. Saat ada orang lain yang lebih dari kita, maka hal tersebut akan mendatangkan iri hati. Saat iri terjadi, maka terjadilah semua itu. Lalu bagaimana cara mendapatkan kebahagiaan? Ada sebuah sinetron yang dulu ditayangkan di RCTI yang sangat saya suka, judulnya Keluarga Cemara. Sungguh menarik bahwa sinetron ini ingin menanamkan bahwa kekayaan tidak membuat seseorang berbahagia. Meski miskin, namun bisa berkumpul dengan keluarga dan memiliki relasi yang indah dan dekat dengan pencipta, itulah yang disebut kebahagiaan. Saya sangat setuju dengan hal ini. Kebahagiaan hanya datang saat kita bisa bersyukur dengan apa yang kita miliki saat ini. Hal ini bukan berarti bahwa kita tidak perlu atau tidak boleh berjuang untuk mendapatkan sesuatu. Hal ini juga bukan berarti bahwa kita tidak boleh memiliki target atau rencana pencapaian di dalam hidup kita. Tapi hal ini berarti bahwa kita harus berjuang namun dengan cara yang baik dan benar. Jika pada akhirnya hal tersebut tidak kita dapatkan, maka marilah kita berpikir bahwa itu belum waktunya atau mungkin bahkan memang bukan bagian kita. Jika ini yang kita lakukan, maka niscaya kita akan menjadi orang yang berbahagia.
Sebuah pertanyaan yang menggelitik pemikiran saya saat membaca definisi-definisi di atas adalah apakah saat kita sudah memiliki semua hal di atas atau jika semua kriteria di atas telah terpenuhi, apakah serta merta akan mendatangkan kebahagiaan bagi kita? Ternyata tidak. Mengapa tidak? Jika kita kebingungan saat mendapat jawaban ini maka saya memberanikan diri bahwa hampir 100% dari kita yang bingung tadi, belum merasakan atau memiliki hal-hal yang kita sangka bisa mendatangkan kebahagiaan ini. Contohnya saja kekayaan, saya beri contoh sebagai berikut, saya bertanya kepada beberapa orang siswa dan mahasiswa yang saya tidak kenal latar belakangnya. Saya bertanya “seandainya anda setiap bulan diberikan Rp 50.000.000 sebagai uang saku apakah itu cukup dan akan membahagiakanmu?” Jika jawabannya seragam, saya akan menaikkan atau menurunkan jumlah tertentu dimana jawabannya menjadi berbeda-beda. Saya cukup kaget, bahwa ada seorang mahasiswa yang diberi uang makan Rp 50.000/bulan dan itu sudah cukup baginya sedangkan ada yang mendapatkan uang saku Rp 500.000/bulan namun tidak merasa jumlah itu cukup untuknya. Hei… What’s the problem? Mengapa hal ini menjadi relatif? Setelah saya menganalisanya, saya temukan bahwa pada saat seseorang terbiasa dengan uang yang banyak dan mulai terbiasa untuk membelanjakannya, maka di suatu saat ia akan merasa bahwa itu tidaklah menjadi cukup dan membutuhkan uang yang lebih banyak lagi dan bersamaan dengan itu ia mulai merasa tidak bahagia. Hal ini memaksa saya untuk mengambil kesimpulan bahwa uang secara khusus atau materi dan kepemilikan secara umum tidak membawa kepuasan yang abadi. Suatu saat itu akan tidak akan membawa kebahagiaan lagi. Contohnya saja adalah miliuner Austria, Karl Rabeder. (http://internasional.kompas.com/read/2010/02/12/1043560/Tidak.Bahagia..Miliuner.Austria.Jual.Semua.Hartanya).
Ia mengatakan bahwa kekayaannya yang melimpah itu tidak membahagiakan.
Alkitab mengatakan bahwa cinta uang adalah akar dari segala kejahatan (I Tim 6:10). Mengapa bisa demikian? Tentu saja bisa. Orang yang mencintai uang akan berpikir bahwa harta adalah segalanya dan bisa mendatangkan kebahagiaan jika memilikinya. Saya teringat kepada seseorang yang pernah berkata kepada saya “Kamu ingin bahagia? Milikilah uang yang banyak. Tidak ada yang tidak bisa dibeli dengan uang.” Sungguh mengerikan bukan? Saya menjawabnya dengan sebuah pertanyaan yang membuatnya terhenyak dari tempat duduknya. Pertanyaan itu adalah, apa bisa kita membeli nyawa alias hidup terus tanpa meninggal dengan uang? Saat saya merenungkan lebih dalam maka saya berpikir juga, apakah bisa uang membeli keabadian? Tidak bukan. Lalu, apa hubungannya dengan uang menjadi akar segala kejahatan? Uang itu seperti candu, awalnya begitu menyenangkan dan menenangkan namun akhirnya begitu mengikat seseorang sehingga mau mati rasanya jika tidak bisa mendapatkannya. Uang juga seperti api, bisa menjadi sahabat jika uang tunduk di bawah kuasa kita, namun akan menjadi lawan saat uanglah yang berkuasa di dalam hidup kita. Jika sudah demikian maka apapun akan kita lakukan untuk uang, kita akan berjuang habis-habisan, menghabiskan semua energi, daya, pemikiran, relasi, dan apapun juga demi uang, terserah dengan cara yang baik, sopan, dan halus hingga cara yang jahat, kurang ajar, dan begitu kasar. Penipuan, rekayasa, kebohongan, jual diri, dan lain sebagainya menjadi hal yang lumrah bagi mereka. Lihat saja apa yang dilakukan para koruptor, para ABG yang rela jual diri, Pemalsu produk berlisensi, pemeras, pembunuh dan lain sebagainya demi sesuatu yang namanya UANG. Mengerikan bukan?
Saya pikir ini semua bermula dari kecintaan kita akan diri yang begitu besar dan mengalahkan kecintaan kita pada Tuhan. Karena pusatnya adalah diri kita, maka kitalah yang akan menjadi patokannya. Saat ada orang lain yang lebih dari kita, maka hal tersebut akan mendatangkan iri hati. Saat iri terjadi, maka terjadilah semua itu. Lalu bagaimana cara mendapatkan kebahagiaan? Ada sebuah sinetron yang dulu ditayangkan di RCTI yang sangat saya suka, judulnya Keluarga Cemara. Sungguh menarik bahwa sinetron ini ingin menanamkan bahwa kekayaan tidak membuat seseorang berbahagia. Meski miskin, namun bisa berkumpul dengan keluarga dan memiliki relasi yang indah dan dekat dengan pencipta, itulah yang disebut kebahagiaan. Saya sangat setuju dengan hal ini. Kebahagiaan hanya datang saat kita bisa bersyukur dengan apa yang kita miliki saat ini. Hal ini bukan berarti bahwa kita tidak perlu atau tidak boleh berjuang untuk mendapatkan sesuatu. Hal ini juga bukan berarti bahwa kita tidak boleh memiliki target atau rencana pencapaian di dalam hidup kita. Tapi hal ini berarti bahwa kita harus berjuang namun dengan cara yang baik dan benar. Jika pada akhirnya hal tersebut tidak kita dapatkan, maka marilah kita berpikir bahwa itu belum waktunya atau mungkin bahkan memang bukan bagian kita. Jika ini yang kita lakukan, maka niscaya kita akan menjadi orang yang berbahagia.
Selamat Mengejar Kebahagiaan.