Minggu, 18 Desember 2011


Quote:
Dua peristiwa yang terpisah telah memanaskan suasana di Papua. Peristiwa pertama adalah terjadinya bentrokan berdarah di kabupaten Puncak yang dipicu oleh masalah dalam proses Pilkada. Bentrokan itu menewaskan hampir 20 orang. Peristiwa kedua adalah serangan yang diduga dilakukan oleh OPM (Organisasi Papua Merdeka). Penyerangan pertama terjadi di wilayah Pinai. Sebanyak 16 orang yang diduga OPM melarang pembangunan tower televisi Papua dilanjutkan. Tak ada korban dalam baku tembak antara polisi dengan mereka. Penyerangan kedua terjadi di wilayah Nafri (1/8). Awalnya mereka menebang pohon. Ketika satu mobil angkutan berhenti, mereka lalu menyerang dengan senjata tajam dan senjata api. Akibatnya, empat orang tewas, tiga luka berat dan dua luka ringan. Tak jauh dari lokasi itu, ditemukan bendera bintang kejora.

Peristiwa kedua ini diduga ada kaitan dengan penyelenggaraan sebuah seminar di London yang dilakukan oleh ILWP (International Lawyer for West Papua) yang menyerukan kemerdekaan Papua Barat dari Indonesia. Peristiwa penyerangan itu diduga sebagai dukungan terhadap seminar yang diselenggarakan oleh ILWP itu. Ditengarai targetnya adalah untuk mengangkat masalah kemerdekaan Papua pada tingkat internasional.

Sementara itu pada 1 Agustus di beberapa kota di Papua seperti di Jayapura, Nabire, Timika dan Manokwari terjadi demontrasi mendukung kemerdekaan Papua yang konon diikuti oleh ribuan orang dari berbagai kota itu. Komite Nasional untuk Papua Barat (KNPB) yang mengkoordinasikan demonstrasi itu menyatakan dengan jelas bahwa demonstrasi itu dimaksudkan sebagai dukungan terhadap konferensi yang dilakukan di London oleh ILWP.

Konferensi itu sendiri diselenggarakan di East School of the Examination Schools, 75-81 High Street, Oxford. Tema yang diusung adalah tentang kemerdekaan Papua : “West Papua ? The Road to Freedom”. Diantara pembicaranya adalah John Saltford, akademisi Inggris pengarang buku “Autonomy of Betrayal”, Benny Wenda pemimpin FWPC yang tinggal di Inggris, Ralph Regenvaru, Menteri Kehakiman Vanuatu, saksi Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 Clement Ronawery dan Anggota Ahli Komite PBB untuk Pengurangan Diskriminasi terhadap Perempuan Frances Raday. Sementara dari Provinsi Papua telah diundang untuk berbicara melalui video-link di konferensi tersebut yaitu Dr. Benny Giay dan Pendeta Sofyan Yoman.

Jika diklaim bahwa konferensi itu dilakukan untuk mencari formula penyelesaian masalah Papua, itu adalah kebohongan. Sebab yang diundang hanya pembicara yang pro kemerdekaan. Sementara tokoh yang berbeda pendapat seperti Franz Albert Joku dan Nick Messet di Papua yang jelas-jelas mempunyai perhatian yang besar terhadap kedamaian dan kesejahteraan masyarakat di Papua dan lainnya malahan tidak diberi kesempatan untuk bicara. Maka konferensi tiu lebih merupakan propaganda kemerdekaan dan sebagai upaya untuk menginternasionalisasi masalah Papua.

Internasionalisasi Masalah Papua

Internasionalisasi masalah Papua bukan terjadi kali ini saja. Konferensi oleh ILWP itu diadakan seiap tahun. Tahun lalu juga diadakan di Inggris. Upaya internasionalisasi itu telah berlangsung lama. Misalnya pada 25 Oktober 2000, Direktur Lembaga Study dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM) Papua, John Rumbiak menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Greg Sword, anggota parlemen tingkat negara bagian Melbourne dari Partai Buruh, yang intinya mereka mendukung setiap gerakan separatis Papua. Sejak tahun 2000, Bob Brown dari partai Hijau dan senator aktif memotori terbentuknya Parliamentary Group on West Papua. Pada 2003, Bob mengkampanyekan masuknya beberapa submisi kepada parlemen Australia dengan mengangkat pelurusan sejarah Irian Jaya dan penentuan nasib sendiri bagi rakyat Irian Jaya.

Ada juga Senator Kerry Nettle dari Partai Hijau terlibat memperjuangkan suaka politik bagi 42 warga Papua. Bahkan, pada 2 April 2006 Nettle mendapatkan penghargaan “Mahkota Papua” dari kelompok pro-separatis di Sydney. Selain itu ada juga, Senator Andrew Barlet dari Partai Demokrat Australia, ia mendukung kampanye penentuan nasib (self determination) bagi rakyat Irian Jaya. Barlet juga pernah mengirimkan surat kepada Sekjen PBB untuk meninjau kembali keabsahan Pepera 1969.

Parliamentary Group on West Papua yang dimotori oleh Bob Brown juga didukung oleh organisasi internasional seperti Asia Pacific Human Rights Network (APHRN), West Papua Action Australia (WPA-A), Action in Solidarity With East Timor (ASIET), Australian Council for Overseas Aid (ACFOA), East Timor Action Network (ETAN) dan The Centre for People and Conflict Studies The Unversity of Sydney. Lembaga yang terakhir itu memiliki proyek yang disebut West Papua Project (WPP) dan dipimpin oleh Prof Stuart Rees, seorang peneliti dan penulis tentang Indonesia. Prof Denis Leith juga turut memberikan dukungan terhadap pro kemerdekaan Papua dengan cara membantu penggalangan dana bagi WPP.

Upaya itu secara lebih masif pernah terjadi pada tahun 2006. Pada tahun 2005, anggota Kongres AS pernah mempermasalahkan proses bergabungnya Irian Barat (Papua) pada Indonesia. Padahal, sejarah mencatat bahwa pendukung utama penyatuan tersebut adalah Amerika sendiri. Persoalan Indonesia dipandang sebagai persoalan AS.

Pada tanggal 16 Maret 2006 terjadi kerusuhan Abepura di ddepan kampus Universitas Cendrawasih. Kerusuhan itu menwaskan empat orang arapat (tiga dari Brimob dan satu dari TNI AU). Terkait dengan kerusuhan itu, Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN), Syamsir Siregar (22/3/2006), mensinyalir ada upaya LSM yang didanai asing hingga terjadi kerusuhan di Abepura. Wakil dari LSM saat bicara bersama seorang anggota Komisi I DPR-RI dalam dialog di salah satu stasiun TV nasional (22/3/2006) tidak secara tegas menolak hal itu. Bila peristiwa tersebut diangkat sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), maka internasionalisasi Papua makin menguat.

Pasca kerusuhan Abepura itu, sebanyak 43 orang pergi ke Australia mencari suaka. Senator Kerry Nettle dari Partai Hijau lalu memperjuangkan pemberian visa kepada mereka. Akhirnya pemerintah Australia pun memberikan visa sementara bagi pencari suaka kepada 42 aktivis propelepasan Papua itu. Menteri Imigrasi Australia kala itu (23/3/2006) Amanda Vanston mengatakan, “Ini didasarkan pada bukti yang disampaikan oleh individu sendiri serta laporan dari pihak ketiga.” Siapa yang dimaksud pihak ketiga, tidak dijelaskannya. Namun, umumnya pihak ketiga itu adalah NGO atau LSM yang didanai asing. Pemberian suaka ini merupakan hal penting, sebab terkait dengan upaya pelepasan Papua melalui proses internasionalisasi.

Dalam konvensi internasional, suaka diberikan bila di negeri asal peminta suaka terjadi ancaman, penindasan, intimidasi, dan ketidakamanan. Dan, ketika suaka diberikan, berarti pihak internasional ‘berhak’ untuk mencampuri dalam negeri Indonesia. Terkait kasus Papua, lagi-lagi, Australia berupaya untuk menginternasionalisasi Papua. Maknanya, apalagi kalau bukan bagian dari upaya untuk melepaskannya dari Indonesia.

Upaya internsionalisasi masalah Papua itu mungkin terinspirasi oleh proses internasionalisasi masalah Timtim. Begitu begitu terjadi kerusuhan setelah jajak pendapat di Timtim yang penuh dengan kecurangan, 200 warga Negara Timtim dibawa ke Australia. Oleh anggota konggres dan LSM Australia untuk mereka dijadikan sebagai alasan untuk membawa masalah Timtim ke Komisi HAM Internasional. Lalu hal itu dijadikan alat untuk memastikan lepasnya Timtim. Karena dengan alasan terjadinya pelanggaran HAM maka keberadaan UNAMET oleh banyak pihak dinilai sebagai operator yang sebenarnya dari lepasnya Timtim akan terjamin dengan mandat dari PBB. Dan dengan itu maka lepasnya Timtim menjadi negara merdeka dapat dipastikan.

Adapun internasionalisasi masalah Papua pada dasarnya memiliki substansi yang sama dengan proses yang terjadi di Timtim. Intinya adalah untuk mendorong PBB atau dunia internasional untuk meninjau kembali bergabungnya Papua dengan Indonesia. Maka untuk itu sebagai bagian tak terpisahkan Pepera harus dianggap tidak sah. Karena itulah bisa dipahami adanya propaganda yang menyatakan Pepera 1969 sebagai sesuatu yang tidak sah. Jika hal itu diterima oleh PBB dan dunia internasional, maka konsekuensinya adalah rakyat Ppaua harus diberikan hak untuk menentukan nasib mereka sendiri dan itu artinya harus dilaksanakan referendum. Itulah yang sesungguhnya menjadi tujuan akhir dari upaya internasionalisasi masalah Papua. Dan ujung-ujungnya adalah supaya Papua lepas dari wilayah Indonesia.

sumber: tulisan dari sebuah FB yg sangat kritis
upaya pelepasan PAPUA, yg sama persis seperti upaya pelepasan TIMTIM...

1 komentar:

  1. pokok nya papua harus jadi wilayah nkri tidak boleh pisah dari nkri

    BalasHapus

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!